Shalat berjamaah adalah shalat bersama, minimal terdiri dari dua orang yaitu imam dan makmum. Walaupun shalat berjamaah hukumnya sunah, tetapi sangat diutamakan. Cara mengerjakannya adalah imam berdiri didepan dan makmum dibelakangnya. Makmum harus mengikuti perbuatan imam dan tidak boleh mendahului imam dalam setiap gerakan. Inilah keutamaan, syarat dan dalil (hadits) shalat berjamaah.
Jika seorang makmum mendapatkan imamnya sedang rukuk dan terus mengikutinya, maka sempurnalah rakaat itu baginya meskipun dia tidak sempat membaca Al Fatihah. Bila ia mengikuti imam setelah rukuk, maka ia harus mengulangi rakaat itu nanti, karena rakaat ini tidak sempurna dan tidak termasuk hitungan baginya.
Apabila makmum yang mengikuti imam tasyahud akhir dari salah satu shalat, maka tasyahud yang dikerjakan oleh makmum itu tidak termasuk bilangan baginya. Dan ia harus menyempurnakan shalatnya sebagaimana biasa sesudah imam memberi salam.
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda. “Sholat berjama’ah itu lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada sholat sendirian.” Muttafaq Alaihi.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda. “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya ingin rasanya aku menyuruh mengumpulkan kayu bakar hingga terkumpul, kemudian aku perintahkan sholat dan diadzankan buatnya. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang itu, lalu aku mendatangi orang-orang yang tidak menghadiri sholat berjama’ah itu dan aku bakar rumah mereka. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan mendapatkan tulang berdaging gemuk atau tulang paha yang baik. Niscaya ia akan hadir (berjamaah) dalam sholat Isya’ itu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda. “Sholat yang paling berat bagi orang-orang munafik ialah sholat Isya’ dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang ada pada kedua sholat itu, mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.” Muttafaq Alaihi.
Dari Abu Hurairah r.a: Ada seorang laki-laki buta menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata. Ya Rasulullah, sungguh aku ini tidak mempunyai seorang penuntun yang menuntunku ke masjid. Maka beliau memberi keringanan padanya. Ketika ia berpaling pulang beliau memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau mendengar adzan untuk sholat?” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Kalau begitu, datanglah.” Riwayat Muslim.
Dari Yazid Ibnu al-Aswad bahwa dia pernah sholat Shubuh bersama Rasulullah ketika beliau telah usai sholat. Beliau bertemu dengan dua orang laki-laki yang tidak ikut sholat. Beliau memanggil kedua orang itu, lalu keduanya dihadapkan dengan tubuh gemetaran. Kemudian beliau bertanya pada mereka: “Apa yang menghalangimu sehingga tidak ikut sholat bersama kami?” Mereka menjawab. Kami telah sholat di rumah kami. Beliau bersabda: “Jangan berbuat demikian, bila kamu berdua telah sholat di rumahmu kemudian kamu melihat imam belum sholat, maka sholatlah kamu berdua bersamanya karena hal itu menjadi sunat bagimu.” Riwayat Imam Tiga dan Ahmad dengan lafadz menurut riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Tirmidzi.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda. “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka apabila ia telah bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan bertakbir sebelum ia bertakbir. Apabila ia telah ruku’, maka ruku’lah kalian dan jangan ruku’ sebelum ia ruku’. Jika ia mengucapkan (sami’allaahu liman hamidah) maka ucapkanlah (allaahumma rabbanaa lakal hamdu). Bila ia telah sujud, sujudlah kalian dan jangan sujud sebelum ia sujud. Kemudian apabila ia sholat berdiri maka sholatlah kalian dengan berdiri dan apabila ia sholat dengan duduk maka sholatlah kalian semua dengan duduk.” Riwayat Abu Dawud. Lafadznya berasal dari Shahih Bukhari-Muslim.