Qari dianjurkan dalam keadaan khusyuk, memikirkan makna bacaannya, dan penuh rasa rendah diri. Dengan cara ini dada akan terasa lapang dan hati menjadi bercahaya.
Segolongan ulama salaf ada yang dalam membaca suatu ayat menghabiskan waktu semalam suntuk, atau sebagian besar malam, karena memikirkan makna ayat yang dibacanya. Sebagian di antara mereka ada yang pingsan di kala membaca, dan ada pula yang meninggal dunia karenanya.
Disunatkan menangis atau berlinang air mata bagi orang yang tidak dapat menangis sungguhan, karena sesungguhnya menangis di kala membaca Al Qur’an merupakan ciri khas orang-orang ‘arifin, dan merupakan pertanda hamba-hamba Allah yang saleh.
Allah swt berfirman dalam surat Al Isra ayat 109, “Dan mereka menyungkurkan muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”
Seorang wali yang terkenal dengan karamahnya, yaitu Syeikh Sayyid Ibrahim Al Khawwash r.a. mengatakan bahwa obat penawar hati itu ada lima macam, yaitu: membaca Al Qur’an dengan merenungkan maknanya, mengosongkan perut, melakukan qiyamullail, ber-tadharru’ kepada Allah di waktu sahur, dan berteman dengan orang-orang saleh.
Membaca Al Qur’an dengan memakai mushaf lebih afdal daripada membaca dengan hafalan. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari ulama salaf. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak, bahkan bila ternyata si qari yang bersangkutan dengan hafalannya lebih menghasilkan pemahaman makna dan lebih menggabungkan antara hati dan pandangan mata daripada memakai mushaf, maka membaca dengan hafalan lebih afdal baginya. Jika dua keadaan itu sama, maka membaca dengan memakai mushaf lebih afdal, demikian maksud ulama salaf.